Kesetiaan yang Terlupakan dalam Bayang-Bayang Stigma
Anjing, binatang peliharaan yang terkenal dengan kesetiaannya, sering kali menjadi topik kontroversial di kalangan masyarakat dengan mayoritas muslim. Meski terkenal sebagai hewan yang cerdas dan setia, anjing kerap kali diperlakukan dengan kurang adil. Mereka dianggap najis oleh sebagian orang, sehingga banyak yang menolak keberadaan mereka di sekitar rumah atau tempat ibadah. Namun, apakah benar seluruh tubuh anjing itu najis? Atau hanya sebagian saja? Dan bagaimana sebenarnya ajaran Islam mengenai anjing ini? Mari kita telusuri lebih dalam.
Kesetiaan Anjing: Sahabat Manusia Sejak Ribuan Tahun Lalu
Anjing telah menjadi sahabat manusia selama ribuan tahun. Sejarah mencatat bahwa anjing pertama kali didomestikasi oleh manusia sekitar 15.000 tahun yang lalu. Mereka membantu manusia dalam berbagai hal, mulai dari berburu hingga menjaga keamanan. Tidak heran jika anjing sering kali disebut sebagai “sahabat terbaik manusia”. Anjing memiliki kemampuan untuk memahami perasaan manusia dan memberikan dukungan emosional. Mereka bisa merasakan ketika pemiliknya sedang sedih atau gembira, dan tak jarang mereka memberikan pelukan hangat atau hanya duduk diam di samping kita, seolah mengatakan, “Aku di sini untukmu.”
Namun, meskipun memiliki banyak kelebihan, anjing kerap kali diperlakukan dengan tidak adil, terutama di kalangan masyarakat muslim. Banyak yang menganggap anjing sebagai hewan yang najis dan layak dihindari. Padahal, yang dianggap najis dalam Islam hanyalah air liurnya, bukan berarti seluruh tubuhnya harus dihindari atau ditakuti. Bahkan dalam Studi Analisis Pendapat Imam Malik Dan Imam Asy-Syafi’i Tentang Hukum Menyentuh Anjing tertulis bahwa para ulama besar seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i tidak memberikan larangan untuk memeliharanya.
Anjing dalam Perspektif Islam
Dalam pandangan Islam, anjing memiliki tempat tersendiri. Memang benar, ada hukum yang menyatakan bahwa air liur anjing itu najis, namun tidak ada larangan untuk memelihara atau memperlakukan anjing dengan baik. Bahkan, dalam kisah Ashabul Kahfi, disebutkan bahwa anjing adalah bagian dari kelompok orang-orang beriman yang dilindungi oleh Allah SWT. Ashabul Kahfi adalah sekelompok pemuda yang melarikan diri dari kekejaman penguasa yang zalim dan berlindung di dalam sebuah gua. Bersama mereka, ada seekor anjing yang setia, yang berdiri di depan pintu gua untuk menjaga tuannya. Kesetiaan anjing tersebut diabadikan dalam Al-Qur’an, Surah Al-Kahfi, ayat 18, yang artinya: “… sedang anjing mereka membentangkan kedua lengannya di depan pintu gua …“
Kisah ini menjadi bukti betapa Islam mengakui kesetiaan dan nilai positif dari seekor anjing. Meski air liurnya najis, anjing tetap dianggap sebagai makhluk Allah yang memiliki kelebihan. Anjing dalam kisah Ashabul Kahfi ini tidak hanya menjaga tuannya, tetapi juga ikut merasakan tidur panjang bersama mereka selama 309 tahun di dalam gua.
Mengubah Persepsi: Anjing Bukan Musuh
Tidak dapat dipungkiri bahwa stigma negatif terhadap anjing masih kuat dalam sebagian masyarakat. Hal ini mungkin disebabkan oleh pemahaman yang kurang tepat tentang ajaran Islam atau mungkin juga karena adanya ketakutan yang berlebihan terhadap najisnya air liur anjing. Namun, perlu diingat bahwa Islam adalah agama yang penuh kasih sayang, tidak hanya kepada sesama manusia tetapi juga kepada hewan. Rasulullah SAW mengajarkan umatnya untuk memperlakukan hewan dengan baik. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Sayangilah siapa yang ada di muka bumi, niscaya kamu akan disayangi oleh siapa saja yang ada di langit” (HR At-Tirmidzi no. 1924)
Anjing memiliki peran penting dalam kehidupan manusia, mulai dari menjadi penjaga, pemburu, hingga sahabat setia. Dalam dunia modern, anjing bahkan dilatih untuk menjadi anjing pelacak, anjing terapi, dan anjing penyelamat. Mereka membantu polisi dalam melacak penjahat, membantu anak-anak dengan kebutuhan khusus, dan menyelamatkan nyawa manusia dalam situasi darurat. Mengabaikan peran penting anjing dalam kehidupan manusia sama saja dengan menutup mata terhadap kenyataan bahwa anjing adalah makhluk yang bermanfaat.
Kesimpulan: Menghargai Anjing sebagai Makhluk Allah
Mengubah persepsi negatif terhadap anjing mungkin bukan perkara mudah, terutama dalam masyarakat yang telah lama memegang teguh pemahaman bahwa anjing itu najis. Namun, dengan pemahaman yang lebih baik tentang ajaran Islam dan peran penting anjing dalam kehidupan manusia, kita dapat mulai melihat anjing dengan cara yang berbeda. Mereka bukanlah musuh, melainkan sahabat yang setia dan bermanfaat.
Jika kita dapat melihat kesetiaan dan cinta yang ditunjukkan oleh seekor anjing kepada tuannya, maka kita juga bisa belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik. Kesetiaan, pengorbanan, dan kasih sayang adalah nilai-nilai yang diajarkan oleh Islam, dan anjing adalah contoh nyata dari nilai-nilai tersebut. Jadi, alih-alih memusuhi atau menjauhi anjing, mari kita belajar untuk menghargai mereka sebagai makhluk Allah yang juga berhak mendapatkan perlakuan baik dari kita.
Ingatlah, kesetiaan seekor anjing yang menjaga pintu gua Ashabul Kahfi selama lebih dari tiga abad adalah bukti bahwa anjing, dengan segala keterbatasannya, tetap memiliki nilai yang berharga. Mari kita lihat anjing dengan mata yang lebih lembut dan hati yang lebih terbuka, karena mereka juga adalah bagian dari ciptaan Allah yang layak dihargai dan dihormati.